Blogroll

Kamis, 05 Oktober 2017

Kedudukan Zakat Ditinjau dari Ekonomi Makro



AYAT-AYAT AL-QUR’AN MENGENAI ZAKAT
1.       Qs. At-Taubah : 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Asbabun Nuzul Qs. At-Taubah : 58-60
Pada waktu Rasulullah sedang membagikan harta zakat, Dzul-Khuaishirah datang menghadap, seraya berkata: “Wahai Rasulullah, hendaklah kamu berlaku adil”. Rasulullah menjawab: “Celaka dirimu. Siapa orang yang bisa berbuat adil kalau diriku saja tidak berlaku adil”. Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT menurunkan ayat ke 58 sebagai ketegasan bahwa diantara ummat manusia ada yang mencela sesuatu karena tidak mendapat bagian. Atau, tidak berkuasa atas sesuatu tersebut sehingga iri hati (HR. BUkhari dari Abi Sa’id al Khudri. Ibn Abi Hatim meriwatkan pula hadist serupa dari Jarir). Setelah ayat 58 ini turun untuk menunjukkan bahwa ada golongan yang mencela Nabi Muhammad karena pembagian harta yang menurut mereka tidak sesuai  dengan harapan mereka, kemudian turunlah ayat 60 yang memberikan legitimasi bahwa pembagian harta yang dilakukan oleh Nabi itu benar, dapat legitimasi dari Allah, dan pembagian itu telah ditentukan oleh Allah melalui ayat 60 ini.
Ayat ini (58-59) menyinggung tentang segolongan munafik yang mencerca Nabi SAW dalam pembagian zakat, mereka menyangka bahwa Nabi membagi-bagikannya pada orang sekehendaknya dari kalangan kerabat dan orang-orang yang ia sukai, demikian mereka menganggap bahwa Nabi tidak berlaku adil, mereka berkata “demi Allah Muhammad tidak memberikan zakat itu kecuali kepada orang-orang yang ia sukainya, ia hanya menuruti hawa nafsunya”, maka turunlah ayat diatas. Dan pada kelanjutannya dinjelaskan tentang orang-orang yang berhak atas pembagian zakat. Ini membicarakan tentang shadaqah wâjibah (zakat), maka pada ayat kelanjutannya (60) juga masih berkenaan dengan shadaqah wâjibah (zakat).

2.       Qs. At-Taubah : 103-104
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (103).
Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang? (104).
Asbabun Nuzul
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan apa yang dilakukan oleh Abu Lubabah dan segolongan orang-orang lainnya. Mereka merupakan kaum mukminin dan mereka pun mengakui dosa-dosanya. Mereka mengikat diri mereka di tiang-tiang masjid, hal ini mereka lakukan ketika mereka mendengan firman Allah SWT, yang diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang tidak berangkat berjihad, sedang mereka tidak ikut berangkat. Lalu mereka bersumpah bahwa ikatan mereka itu tidak akan dibuka melainkan oleh Nabi SAW sendiri. Seraya berkata, “ Ya Rasulullah, inilah harta benda kami yang merintangi kami untuk ikut berperang. Ambillah harta itu dan bagi-bagikanlah,serta mohonkanlah ampun untuk kami.”Kemudian setelah ayat ini diturunkan Nabi melepaskan ikatan mereka.  Nabi kemudian mengambil sepertiga harta mereka kemudian menyedekahkannya kemudian mendoakan mereka sebagai tanda bahwa taubat mereka telah diterima.
Konteks umum saat perang tabuk adalah ketika adanya kabar bahwa orang-orang romawi sedang menyiapkan pasukan tentara untuk menyerang perbatasan tanah arab di utara (tabuk), mendengar kabar ini, membuat kondisi umat islam saat itu kebingungan, untuk menangani masalah ini, umat islam membutuhkan dana yang cukup besar, kemudian rasulullah meminta umat islam yang kaya untuk membantu menyumbangkan hartanya yang cukup besar untuk mempersiapkan pasukan untuk melawan pasukan ramawi tersebut. [1]
3.       Qs. Al-Baqarah ayat 42-43
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. (42)
Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. (43)
PENGERTIAN ISTILAH MENGENAI ZAKAT
Menurut tinjauan bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang artinya berkah, tumbuh, bersih, atau baik. Sesatu  yang dikatakan zakah, maka sesuatu  itu mengandung berkah, tumbuh, bersih, atau baik.
Menurut tinjauan Syara’, zakat itu merupakan sebagian harta umat islam yang dibelanjakan untuk melaksanakan perintah Allah atau untuk menegakkan kebenaran, menolong orang teraniaya dan keperluan jihad menegakkan kalimatullah. Pada periode mekkah harta zakat tidak ditetapkan, tapi kemudian pada periode madinah (9 H) harta zakat ditentukan prosentasinya secara tetap.
Menurut tinjauan bahasa, kata Shodaqah berasal dari kata shidiq, artinya benar. Oleh karena itu shodaqah dapat diartikan sebagai harta kebenaran atau harta yang dikeluarkan untuk menegakkan kebenaran atau harta yang dikeluarkan untuk ditempatkan sesuai  tempatnya.[2]
Dalam kedua ayat (At-Taubah 60 dan 103-104)  ini menggunakan kata Shodaqah, bukan Zakat. Menurut pendapat Ustadz Iskanadar Al Warisi istilah zakat dan shodaqoh memiliki  pengertian yang sama, yaitu harta yagn dibelanjakan untuk memenuhi perintah Allah. Kesamaan peristiwa tersebut lebih nampak ketika memahami istilah zakat di Mekkah sebelum turunnya Qs. At-Taubah ayat 60 ini yang sebelumnya menunjukkan adanya kondisi dimana umat islam pergi hijrah dari mekkah ke madinah, dan mereka berpuasa selama 30 hari yang kemudian Allah memerintahkan hambanya untuk bersyukur dengan cara mengeluarkan sebagian harta mereka yang  dirupakan makanan pokok yang kemudian diberikan kepada saudara-saudara mereka yang kekurangan/tidak memiliki makanan untuk berhari raya.  
Dengan demikian, shodaqah itu dibagi menjadi 2, yang pertama adalah shodaqah yang wajib dan yang kedua adalah shodaqah yang tidak diwajibkan. Shodaqah yang wajib adalah zakat itu sendiri dan shodaqah yang tidak diwajibkan adalah infaq.
Jika dilihat dari konteks kedua ayat tersebut, lebih menjelaskan pada shodaqah yang sifatnya wajib, karena adanya paksaan/keharusan bagi umat islam (perintah) untuk menzakatkan hartanya/memberikan sebagian hartanya baik  kepada 8 golongan itu, atau yang selaiinnya yanng sudah ditentukan Allah. Sehingga kedua ayat ini mengarah pada zakat itu sendiri.
Menurut Imam Syafi’i mengenai penjelasan 8 golongan dalam Qs. At-Taubah ayat 60 :
1.       Fuqarâ’ ; yaitu orang yang tidak mempunyai harta dan usaha, atau mempunyai harta atau usaha yang kurang dari seperdua kecukupannya dan tidak ada orang yang berkewajiban menafkahinya.
2.       Masâkîn ; yaitu orang yang mempunyai harta atau usaha sebanyak seperdua kecukupannya atau lebih tetapi tidak mencukupi. Yang dimaksud dengan kecukupan yaitu cukup menurut umur biasa 62 tahun, maka yang mencukupi dalam masa tersebut dinamakan “kaya”, tidak boleh diberi zakat, ini dinamakan kaya dengan harta. Adapun kaya dengan usaha, seperti orang yang mempunyai penghasilan yang tertentu tiap-tiap hari atau bulan, maka kecukupannya dihitung setiap hari atau setiap bulan. Apabila suatu hari peng hasilannya tidak mencukupi, hari itu dia boleh menerima zakat. Adanya rumah yang didiami, perkakas rumah tangga, pakaian dan lain-lain yang perlu dipakai tiap hari tidak terhitung sebagai kekayaan, berarti tidak menghalanginya dari tergolong fakir atau miskin.
3.       ‘Âmilîn ; yaitu semua orang yang bekerja mengurus zakat sedangkan ia tidak menerima upah selain bagin zakat.
4.       Muallaf  ; ada empat macam yaitu; (i) Orang yang baru masuk Islam, sedang imannya belum teguh. (ii) Orang Islam yang berpengaruh dalam kaumnya, dan kita berharap kalau dia diberi zakat, orang lain dari kaumnya akan masuk Islam. (iii) Orang Islamyang berpengaruh terhadap kafir kalau dia diberi zakat, kita akan terpelihara kita akan terpelihara dari kejahatan kafir yang ada dibawah pengaruhnya. (iv) Orang yang menolak kejahatan orang yang anti azakat.
5.       Riqâb ; hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya boleh menebus dirinya
6.       Ghârimin ; ada tiga macam yaitu; (i) Orang yang berhutang  karena mendamaikan antara dua orang yang berselisih. (ii) Orang yang berhutang untuk kepentingan dirinya sendiri pada keperluan yang mubah atau yang tidak mubah, tetapi ia sudah bertaubat. (iii) Orang yang berhutang karena menjamin hutang orang lain sedangkan dia dan yang dijaminnya itu tidak dapat membayar hutangnya.
7.       Fi sabîlillah ; yaitu bala tentara yang membantu dengan kehendak sendiri, sedangkan dia tidak mendapat gaji yang tentu, tidak pula mendapat bagian dari harta yang disediakan untuk keperluan berperang dalam dewan tentara. Orang ini diberi zakat meskipun ia kaya sebanyak keperluannya untuk masuk ke medan perang.
Ulama Fiqih mentafsirkan “sabîlillah” berpokok pada bala tentara. Tafsiran itu mengacu pada pada salah satu makna umum diantara makna yang banyak, karena makna itu yang terpenting menurut mereka, bukan karena hanya maknanya menurut logat Arab. Ibnu Atsir berkata, bahwa makna “sabîlillah” adalah semua amal kebajikan yang dimaksudkan berhampir diri kepada Allah, bukan tertentu pada peperangan, bukan pula lebih terang maknanya pada peperangan. Tidak seorangpun dapat memberikan makna sabîlillah hanya berartiu belanja untuk peperangan saja, pendapat yang demikian itu hanyalah diambil dari kata-kata ulama salaf yang tidak dapat dijadikan dallil.
Dalam ilmu Ushûl Fiqh bahwa kata yang umum itu wajib diartikan sebagaimana umumnya selama tidak ada dalil untuk mengkhususkannya, dan dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan maknanya. Jadi yang sabîlillah disini berarti umum meliputi semua yang diridlai oleh Allah SWT, seperti membenguan madrasah, masjid dan lain sebagainya yang bersifat dlariri untuk kepentingan dan kemashlahatan Islam. Menurut Al-Ghulayain, memberikan sedekah pada jalan Allah meliputi semua usaha kebaikan untuk kemaslahatan umum atau untuk menghindarkan segala kejahatan, kesulitan umum, seperti persediaan perlengkapan pertahanan, membengun madrasah dan lain-lain sebagainya yang bermanfaan dan kebaikannya berguna untuk umat.
Menurut Muhammad Rasyid Ridlo, bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan sabîlillah di sini adalah beberapa kemaslahatan kaum Muslimin umumnya yang menambah kekuatan agama Islam dan negaranya, bukan untuk perseorangan. Yang terpenting di masa kini ialah persediaan untuk propaganda penyiaran Islam, untuk membiayai pengiriman para Muballigh ke negri-negri non Muslim, organisasi-organisasi yang teratur untuk memperjuangkan Islam dan lain sebagainya.
8.       Ibnu Sabîl ; yaitu orang yang mengadakan perjalanan dari negeri zakat, atau melalui negeri zakat. Dalam perjalanan itu ia diberi zakat sekedar ongkos untuk sampai kepada maksudnya, dan perjalanan itu pun bukan maksiat (terlarang), tetapi dengan tujuan yang sah.
Penjelasan kebahasaan dalam surat Al-Baqarah ayat 43
Mengenai firman Allah swt- kepada ahlul kitab; wa aqiimush shalaata (“Dan dirikanlah shalat,”) Muqatil mengatakan, artinya, Allah swt. memerintahkan mereka untuk mengerjakan shalat bersama Nabi “Dan tunaikanlah zakat,” artinya, Allah memerintahkan mereka untuk mengerluarkan zakat, yaitu dengan menyerahkannya kepada Nabi “Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’,” artinya Allah menyuruh mereka untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’ dari umat Muhammad, maksudnya Dia berfirman, ikutlah bersama mereka dan bagian dari mereka.
Mengenai firman-Nya, “Tunaikanlah zakat,” Mubarak bin Fudhalah meriwayatkan dari Hasan al-Bashri, katanya: “Pembayaran zakat itu merupakan kewajiban, yang mana amal ibadah tidak akan manfaat kecuali dengan menunaikannya dan dengan mengerjakan shalat.”
PENAFSIRAN AYAT-AYAT
Pada surat At-Taubah ayat 60 ada kondisi dimana peran kaum munafik masih gentar-gentarnya dalam meracuni kekuatan islam pada saat itu, kisaran waktu awal-awal madinah, pasca perang badar. Dilihat dari usaha-usaha yang orang-orang munafik  lakukan salah satunya dalam ayat 58 yang menjelaskan bahwa waktu itu orang-orang munafik menghina Nabi Muhammad mengenenai pembagian harta zakat yang hendak diberikan kepada 8 golongan itu, mereka sesungguhnya sangat-sangat ingin untuk mendapatka harta zakat itu  meskipun kondisi  mereka sudah berkecukupan, hal ini mungkin dilakukan juga karena ingin merusak/meracuni kekuatan islam di madinah pada saat itu, dengan melakukan pencercahan akan pembagian yang dilakukan Nabi Muhammad, ketika mereka berhasil membuat Nabi Muhammad terpengaruh akan usaha-usaha mereka, maka islam sendiri kemungkinan besar juga akan mengalami kerusakan karena Nabi Muhammad sendiri salah dalam melakukan pembagian harta zakat.
Tapi kemudian Allah memberikan penegasan bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad mengenai pembagian harta zakat itu memang benar, melalui ayat 60 inilah, pembagian yang dilakukan Nabi Muhammad mengenai  harta zakat juga dilegitimasi oleh Allah sendiri, sehingga orang-orang munafik tidak akan mampu  lagi  untuk menghina/mencerca keputusan Nabi Muhammad dalam menentukan pembagian harta zakat.
Memang karena kondisi umat islam saat itu masih dalam tahap pembangunan kekuatan internal, dimana masih banyak orang-orang fakir, miskin, budak, dll. Sehingga harta zakat dibagikan kepada mereka guna memperkuat kondisi internal islam pada waktu itu. Membagikan kepada muallaf untuk mendapatkan kesan positif terhadap agama islam, untuk membuat mereka semakin mencintai  islam, untuk fi sabilillah, menurut Ustadz  IAW fi sabilillah diartikan sebagai jalan Allah yang  memiliki  prinsip semua jalan yang memiliki potensi tegaknya kalimat Allah, harus sesuai dengan sunnatullah bisa berhubungan dengan pendidikan, pembangunan ekonomi, dan industri, teknologi, politik, dll. Begitupun golongan-golongan lain yang memiliki tujuan/orientasi yang berbeda-beda dalam pembagian harta zakat tersebut.
Pada surat At-Taubah ayat 103-104 ada kondisi dimana waktu orang-orang romawi sudah mempersiapkan diri untuk menyerang perbatasan arab di wilayah utara (di daerah tabuk), dengan kondisi  yang mendesak ini, maka umat islam juga harus mempersiapkan diri untuk melawan pasukan romawi tersebut, sedangkan untuk  mempersiapkan pasukan perang ini maka butuh danah yang cukup besar. Sehingga pada waktu itu orang-orang yang kaya dituntut untuk memberikan bantuan dana untuk mempersiapkan pasukan demi melawan pasukan romawi. Namun ada beberapa orang kaya yang enggan untuk memberikan hartanya demi mempersiapkan perlawanan ini, lebih memilih untuk menggunakan hartanya secara pribadi dan tidak  ikut berjihad di medan pertempuran. Karena itulah kemudian turunlah ayat ini untuk memerintahkan Nabi  Muhammad untuk mengambil harta mereka, untuk membersihkan diri  mereka. Kemudian ketika ayat ini telah turun, mereka mulai menyesal karena perilaku mereka sebelumnya, sehingga kemudian bersedia untuk memberikan harta mereka sesuai  dalam perintah surat At-Taubah ayat 103 ini.
Jika dilihat dari kedua ayat ini mengenai alokasi pembagian harta (zakat) masing-masing memiliki perbedaan, yakni  pada ayat 60 lebih pada membagikan harta kepada golongan-golongan yeng membutuhkan untuk memperkuat kondisi internal islam sendiri. Sehingga pembagian harta zakat tidak diharuskan hanya pada 8 golongan itu saja, melainkan melihat dari konteks/kondisi yang dialami oleh umat islam waktu itu, seperti contoh ayat 103 yang dalam kondisi peperangan, maka orientasi zakat waktu itu memang ditujukan untuk membantu dalam hal peperangan/perlawanan mengahadapi pasukan romawi.
Pada surat Al-Baqarah ayat 43 cenderung menunjukkan dari sisi  perintah dalam melaksanakan zakat, yakni menjadi sebuah keharusan atau  kewajiban bagi seorang muslim untuk melaksanakan zakat tersebut.
Sehingaa dari ketiga ayat/ ketiga permasalahan yang berbeda ini, maka dapat memunculkan pemaknaan ayat bahwa zakat sendiri merupakan sebuah keharusan/kewajiban bagi umat islam dan pembagian harta zakat itu dilihat sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu, tidak harus selalu 8 golongan, tidak harus selalu  dalam mendukung peperangan, bisa  saja masyarakat dalam kondisi kurangnya pengetahuan sehingga harta zakat dapat dialokasikan untuk pendidikan, misal  masyarakat dalam kondisi banyak wabah penyakit yang menyerang, maka harta zakat bisa dialokasikan dalam bidang kesehatan, bergitu seterusnya.
PENAFSIRAN AYAT-AYAT MENGGUNAKAN PENDEKATAN TEORI KEBIJAKAN FISKAL
Menurut penafsiran sesuai  konteks pada surat Al-Baqarah ayat 43, At-Taubah ayat 60 dan 103-104 yang menunjukkan bahwa zakat itu diwajibkan bagi umat muslim yang memiliki harta yang lebih dan dalam pembagiannya tidak harus berpatok pada 8  golongan terseabut, melainkan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat pada saat itu.
Ketika menggunakan teori ekonomi kususnya dalam kebijakan fiskal yang mencakup masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengendalian secara makro dilihat dari kacamata perancang ekonomi nasional.
Dalam zakat yang merupakan sumber pemasukan dana bagi umat islam yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang kekurangan, memperkecil kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin, menjaga daya beli masyarakat agar tetap stabil, membantu mengatasi  permasalan-permasalahan yang ada sesuai konteks masyarakat saat itu.
Penerapan zakat pada zaman rasul dapat digambarkan seperti ini : harta zakat yang telah dikumpulkan oleh para Amiil zakat dengan cara mengambil harta zakat dari para kaum muslimin, dan kemudian harta tersebut ditaruh di baitul mal. Pada baitul mal ini, diaturlah pengeluaran yang akan dilakukan, harta tersebut dibagikan kemana saja, ke siapa saja, di sini ada pengaturan/perencanaan pengeluaran tersendiri. Begitu juga dengan teori kebijakan fiskal ketika dana yang masuk dalam APBN, dan dana tersebut akan digunakan untuk pembelanjaan, dalam pembelannjaan sendiri pun juga ada perencanaan yang ditujukan untuk pembangunan masyarakat, kesejahteraan masyarakat, pembangunan infrastruktur, dll.
Dalam kebijakan fiskal yang saya ketahui selama ini, pemasukan dana/penerimaan berasal dari pajak dan non pajak. Dalam penerimaan pajak, dalam penerimaan pajak sendiri pun dibagi menjadi 2 yakni :
1.       Penerimaan pajak dalam negeri dan
2.       Penerimaan pajak international
Penerimaan pajak dalam negeri seperti pajak penghasilan, PPN, cukai, dll. Sedangkan pajak international seperti bea impor/ekspor, dll.
Sedangkan penerimaan yang berasal dari non pajak yang saya ketahui ada 4, yakni :
1.       Penerimaan SDA (hasil ekspor)
2.       Laba dari BUMN
3.       PNBP lain seperti bunga, hiba, denda, dll.
4.       Pendapatan BLU seperti jasa, hibah, dll.
Sedangkan dalam zakat, yang menjadi pemasukan adalah dari harta pribadi para umat islam yang memiliki harta lebih dari cukup, dan diwajibkan sama halnya dengan pajak juga diwajibkan karena telah menggunakan fasilitas negara, tapi diwajibkannya zakat ini karena memnag sudah menjadi ketentuan Allah dalam Al-Qur’an yang dikhususkan untuk  umat islam. Ketika harta zakat dihubungkan dengan penerimaan/pemasukan dalam kebijakan fiskal, seperti yang dilakukan oleh rasul di zamannya yang menjadikan zakat sebagai pemasukan dari baitul mal. Maka konsep penerapan zakat ini juga bisa dikatakan/bisa dimasukkan dalam teori kebijakan fiskal, karena konsep penerimaan/pemasukan, perencanaan pengeluaran/pembagian harta/pembelanjaan juga memiliki kesamaan.
Ketika pembelanjaan APBN digunakan untuk pembangunan negara, subsdi, dll. Maka pembelanjaan harta zakat juga memiliki tujuan untuk membangun masyarakat, menyelesaikan permasalahan dana yang ada di masyarakat, menyejahterakan masyarakat, dll.
Ketika pemasukan dalam APBN mengalami pengurangan, sedangkan hal hal yang harus dibelanjakan banyak, maka dibutuhkan tambahan pemasukan. Begitu juga dengan zakat, ketika pemasukan harta zakat sedikit sedangkan kebutuhan pembelanjaannya banyak, maka butuh yang namanya tambahan pemasukan.
Begitu juga ketika pembelanjaan dari APBN digembor-gemborkan dan pajak dikurangi, maka yang akan terjadi adalah inflai, karena jumlah uang beredar semakin meningkat. Sama halnya dengan zakat, ketika dalam tahapan pembagian harta yang begitu banyak, sehingga jumlah uang yang beredar di masyarakat juga  akan semakin bertambah yang ini menimbulkan adanya inflasi dalam suatu masyarakat tertentu.
Sebaliknya jika pembelanjaan APBN benar-benar dikurangi, sehingga jumlah uang yang beredar juga berkurang, sedangkan jumlah penerimaan pajak ditingkatkan sehingga jumlah uang yang  beredar semakin berkurang, maka akan menimbulkan deflasi. Sama halnya dengan Zakat, ketika pembagian hartanya dikurangi/pembelanjaannya dikurangi, sedangkan penerimaan hartanya ditambah, maka akan menimbulkan harta/uang yang beredar di masyarakat juga akan semakin berkurang. Hal ini juga dapat membuat terjadinya deflasi.
Secara umum tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan fiskal adalah kestabilan ekonomi. fungsi kebijakan fiskal yang saya temukan mencakup tiga hal :
1.       Fungsi Alokasi yang bertujuan untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi yang ada dalam masyarakat sedemikian rupa, sehingga kebutuhan masyarakat seperti keamanan, pendidikan, prasarana jalan, tempat ibadah dan sebagainya dapat terpenuhi.
2.       Fungsi Distribusi yang bertujuan untuk terselenggaranya pembagian pendapatan nasional yang adil.
3.       Fungsi Stabilisasi yang antara lain bertujuan untuk terpeliharanya kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga yang relatif stabil dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai.
Merujuk dari fungsi kebijakan fiskal tersebut, bahwa zakat dapat pula dijadikan instrumen dalam kebijakan fiskal karena memenuhi seluruh prasyarat untuk menjadi instrumen fiskal. Ketiga fungsi zakat yang dimainkan oleh zakat tersebut adalah seperti berikut :
1.       Pertama, sebagai alat redistribusi pendapatan dan kekayaan. Sebagai sebuah instrumen, tentu saja zakat membutuhkan infrastruktur yang memadai, baik dalam regulasi kebijakan hingga bentuk lembaga dan teknis operasional yang bersifat rinci. Jika fungsi zakat sebagai instrumen bagi redistribusi pendapatan dan kekayaan berjalan dengan baik, maka persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial dapat direduksi.
2.       Kedua, sebagai stabilisator perekonomian. Pengelolaan zakat yang baik dapat memberikan dampak terhadap stabilitas perekonomian. Kondisi perekonomian terkadang berada pada situasi booming maupun pada situasi depresi. Kondisi yang fluktuatif ini tentu membutuhkan adanya suatu instrumen yang menjadi stabilisator,
3.       Ketiga, sebagai instrumen pembangunan dan pemberberdayaan masyarakat dhuafa (fungsi alokasi). Zakat memiliki peran yang sangat strategis didalam pembangunan masyarakat. Bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pembangunan ekonomi yang terkait dengan sektor riil mendapatkan prioritas yang utama. Hal ini dimaksudkan agar angka pengangguran dan kemiskinan dapat dikurangi, lapangan serta kesempatan kerja dapat diperluas.
Pelaksanaan zakat bila dilakukan secara sistematis dan terorganisir akan memberikan efek multiplier yang yang tidak sedikit terhadap peningkatan pendapatan. Efek multiplier dari zakat secara ekonomi dapat dijelaskan dengan contoh berikut :
Jika diasumsikan bantuan zakat diberikan dalam bentuk konsumtif. Bantuan konsumtif yang diberikan kepada mustahik (penerima zakat) akan meningkatkan daya beli mustahik tersebut atas suatu barang yang menjadi kebutuhannya. Peningkatan daya beli atas suatu barang ini akan berimbas pada peningkatan produksi suatu perusahaan, imbas dari peningkatan produksi adalah peningkatan kapasitas produksi yang hal ini berarti perusahaan akan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Sementara itu, disisi lain peningkatan produksi akan meningkatkan pajak yang dibayarkan kepada negara. Bila penerimaan negara bertambah, maka negara akan mampu menyediakan sarana dan prasarana untuk pembangunan serta mampu menyediakan fasilitas publik bagi masyarakat. Dari contoh tersebut, terlihat bahwa pembayaran zakat mampu menghasilkan efek berlipat ganda (multiplier effect).
Dalam perekonomian, yang pada akhirnya secara tidak langsung akan berimbas pula apabila zakat diberikan dalam bentuk bantuan produktif seperti modal kerja atau dana bergulir, maka sudah barang tentu efek multiplier yang didapat akan lebih besar lagi dalam suatu perekonomian.
KEDUDUKAN ZAKAT DALAM KEBIJAKAN FISKAL
Kedudukan Zakat dalam kebijakan fiskal dalam konteks indonesia saat ini
1.       Hakikat Zakat        
Zakat wajib dikeluarkan apabila telah memenuhi syarat antara lain harta yang dimiliki mencapai nishab dan haulnya selama setahun, besarnya ditentukan dan syarat lainnya telah terpenuhi. Apabila persyaratan telah terpenuhi maka jika tidak ditunaikan maka pemilik tersebut akan berdosa disisi Allah sedangkan, infaq boleh dikeluarkan secara suka rela baik harta tersebut belum atau telah mencapai syarat-syarat unuk berzakat. Dengan demikian, orang yang berzakat itu sebenarnya belum memberikan hartanya melainkan hanya menunaikan kewajiban atas hartanya sedangkan, yang dikategorikan memberikan hartanya adalah orang yang berinfaq.

Pajak yang menjadi pemasukan dari APBN adalah dilakukan karena masyarakat menggunakan fasilitas negara, seperti pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak ekspor, dll. Pemungutan pajak itu dilakukan karena kewajiban bagi suatu warga negara untuk memberikan dana pajak bagi negaranya karena sudah menepati negara, sudah memanfaatkan fasilitas yang ada di negara tersebut. Pajak ini diberlakukan wajib bagi seluruh warga negara indonesia.

Sedangkan zakat sendiri adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan ukuran-ukuran tertentu  yang sudah ditentukan baik ketika melakukan zakat maal atau zakat fitrah, dalam melakukan pembayaran zakat yang sudah diterapkan oleh rasulullah pada zamannya, hal ini bisa dijadikan patokan dalam pembayaran harta zakat dan mungkin bisa dijadikan standard minimal bagi pembayar zakat, karena ketika orang yang hendak melakukan zakat fitrah adalah orang yang kaya raya, maka dengan hanya  memberikan bantuan pokok sesuai pada zaman Nabi, maka tidak akan sesuai dengan kondisinya  yang kaya, seharusnya bisa melebihi dari standard yang diterapkan Nabi pada saat itu.  

Penerimaan harta zakat tidak hanya dilakukan saat idhul fitri saja, melainkan dengan adanya zakat maal, maka penerimaan harta zakat bisa fleksibel, tidak harus pada waktu yang sama. Dengan melakukan perhitungan dengan harta yang dimiliki mengenai harta yang akan dizakat maal kan, ada nishab tersendiri yang harus terpenuhi ketika hendak melakukan zakat. Total harta yang akan di zakatkan inilah yang merupakan bentuk penerimaan dalam kebijakan fiskal.

Sehingga sistem penerimaan fiskal melalui harta zakat ini dapat diambil melalui zakat fitrah dan zakat mal yang diberikan kepada panitia/pihak yang menjadi penerima zakat fitrah/mal (dilakukan secara terorganisis, tidak langsung dibagikan ke para mustahiq).

Zakat bukanlah bentuk donasi biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana infaq. Zakat hukumnya wajib (imperatif) sementara donasi hukumnya mandub (sunnah). Pemungutan zakat dapat dipaksakan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 103. Lembaga yang mempunyai kekuasaan yang sah untuk melakukan pemaksaan seperti itu dalam sistem demokrasi seperti di indonesia ini adalah negara, melalui perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak.

Dilihat dari potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber, potensi zakat di Indonesia mencapai hampir 20 triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005 mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun. Di antara potensi tersebut, Rp 5,1 triliun berbentuk barang dan Rp 14,2 triliun berbentuk uang. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun. diketahui bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen) adalah masjid-masjid. Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal.

Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang sebenarnya. Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga pengumpul zakat baru mencapai beberapa puluh milyar. Itu pun bercampur dengan infak, hibah, dan wakaf. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen yang berwenang.

2.       Peran Zakat           
Ketika sudah ada dana dari pajak yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pembayaran utang negara, dll. Maka dana zakat dapat lebih digunakan dalam hal kesejahteraan umat misalnya untuk pembangunan sarana dan prasarana pertanian sebagai tumpuan kesejahteraan ekonomi rakyat, pembangunan sektor industri yang secara langsung berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak, penyelenggaraan sentra-sentra pendidikan keterampilan dan kejuruan untuk mengatasi pengangguran, pembangunan pemukiman rakyat tuna wisma atau gelandangan, jaminan hidup orang-orang yang cacat (defable), jompo, yatim piatu, dan orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan. Di samping itu, dana zakat juga dapat digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dasar sampai tinggi untuk setiap warga yang memerlukan, pengadaan sarana dan prasarana kesehatan bagi rakyat, dan pengadaan sarana dan prasarana lain yang erat hubungannya dengan usaha menyejahterakan rakyat yang berada pada atau di bawah garis kemiskinan.

Pada instrumen kebijakan fiskal, mekanisme zakat mungkin akan memastikan aktivitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat yang minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer. Masalah yang utama mungkin bisa digunakan untuk membantu masyarakat yang masih kekurangan dalam hal kebutuhan primer.

Karena melihat potensi zakat yang begitu besar jika diliihat dari dana yang dihasilkan yakni sekitar 20 triliun atau setara 1% dari APBN, dengan dana yang begitu besar, dan melihat konteks/kondisi mayasrakat di indonesia dengan tingkat rasio gini yang lumayan tinggi yang menunjukkan tingkat ketimpangan ekonomi yang lumayan tinggi pula, sehingga karena ada permasalahan yang seperti ini, maka peran zakatnya hampir sama dengan apa yang sudah diterapkan dalam oleh rasulullah dulu, cenderung dalam membelanjakannya untuk  kesejahteraan masyarakat.

Peran dana zakat sebenarnya tidak hanya itu saja, tapi dengan melihat kondisi masyarakat indonesia sendiri, ketika hal yang paling dibutuhkan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya yang selama ini kurang sejahtera (dilihat dari ketimpagngan ekonominya), maka dana zakat dapat dialokaskan untuk  mengatasi masalah tersebut, bisa dengan memberikan bantun konsumtif atau produktif tergantung planning dari negara indonesianya sendiri. Misal ada permasalahan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dll. Maka dana zakat bisa dialokasikan untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut.

3.       Fungsi Zakat          
Guna/manfaat atau efek/dampak yang diberikan oleh zakat bagi pencapaian tujuan fiskal
Tujuan-tujuan dari terjadinya dan berlangsungnya kebijakan fiskal antaralain sebagai berikut..

1.       Mencapai stabilitas perekonomian
2.       Memacu dan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi
3.       Memperluas dan menciptakan lapangan kerja
4.       Menciptakan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat
5.       Mewujudkan pendistribusian dan pemerataan pendapatan
6.       Mencegah pengangguran dan menstabilkan harga

Ketika dana zakat dapat terkumpul dengan maksimal, maka anggaran dana dari pemerintah juga akan bertambah dengan maksiml pula, yang nantinya akan berpengaruh juga pada pembelanjaan fiskal sendiri dan digunakan untuk meningkatkan pembangunan di negara indonesia, maka manfaatnya juga akan sangat besar, semakin banyak infrastruktur yang dibangun di indonesia, maka semakin mudah jalur akses bagi masyarakat untuk mendapatkan sesuatu  yang dibutuhkan.

Ketika dana zakat dijadikan instrumen fiskal, dan dengan dibenturkan dari beberapa tujuan fiskal sendiri, dengan membelanjakan/menyalurkan dana zakat kepada kelompok yang benar-benar membutuhkan, dengan model pemberian bisa dengan diberikan untuk konsumsi maupun produksi, yang nantinya akan membuat daya beli masyarakat naik, peningkatan daya beli atas suatu barang ini akan berimbas pada peningkatan produksi suatu perusahaan, imbas dari peningkatan produksi adalah peningkatan kapasitas produksi yang hal ini berarti perusahaan akan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Sementara itu, disisi lain peningkatan produksi akan meningkatkan pajak yang dibayarkan kepada negara. Bila penerimaan negara bertambah, maka negara akan mampu menyediakan sarana dan prasarana untuk pembangunan serta mampu menyediakan fasilitas publik bagi masyarakat. Dari contoh tersebut, terlihat bahwa pembayaran zakat dengan tepat akan mampu menghasilkan efek berlipat ganda. Sehingga dari efek ini juga membuat pertumbuhan ekonomi semakin meningkat.

Dari sinilah fungsi zakat dapat dilihat secara singkat, intinya zakat sendiri dapat/mampu mendorong/mendukung tercapainya tujuan fiskal.
Konklusi secara umum
Hakikat zakat sendiri dalam konsep penerimaan fiskal berbeda dengan pajak  dan infaq. Zakat sendiri merupakan suatu  kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai seorang muslim, ada kadar-kadar tertentu untuk melakukan zakat, dalam melakukan penerimaan harta zakat bisa dilakukan di lembaga-lemabaga tertentu yang kemudian dipusatkan ke  pemerintah dan dan nantinya bisa dikelola sesuai  rencana/planning. Pada peranan zakat sendiri sebenarnya bisa membantu dalam berbagai sektor, terutama untuk  menyejahterakan rakyatnya, dalam perannya ini sebenarnya tergantung dari konteks/kondisi yang dialami masyarakat indonesia pada saat ini, sehingga perannya bisa menyesuaikan dari segi/sektor mana yang butuh untuk dibantu/diselesaikan masalahnya. Pada fungsi zakat sendiri terhadap pencapaian tujuan fiskal, secara umum zakat dapat mendukung/membantu/mendorong tercapainya tujuan fiskal.






[1] Husein Haekal, “Sejarah Muhammad : Perang Tabuk”

0 komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
Idris10280
->rahasia<-
Lihat profil lengkapku