AYAT-AYAT AL-QUR’AN MENGENAI ZAKAT
1. Qs. At-Taubah
: 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً
مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
Asbabun Nuzul Qs. At-Taubah : 58-60
Pada waktu Rasulullah sedang
membagikan harta zakat, Dzul-Khuaishirah datang menghadap, seraya berkata:
“Wahai Rasulullah, hendaklah kamu berlaku adil”. Rasulullah menjawab: “Celaka
dirimu. Siapa orang yang bisa berbuat adil kalau diriku saja tidak berlaku
adil”. Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT menurunkan ayat ke 58 sebagai ketegasan
bahwa diantara ummat manusia ada yang mencela sesuatu karena tidak mendapat
bagian. Atau, tidak berkuasa atas sesuatu tersebut sehingga iri hati (HR.
BUkhari dari Abi Sa’id al Khudri. Ibn Abi Hatim meriwatkan pula hadist serupa
dari Jarir). Setelah ayat 58 ini turun untuk menunjukkan bahwa ada golongan
yang mencela Nabi Muhammad karena pembagian harta yang menurut mereka tidak
sesuai dengan harapan mereka, kemudian
turunlah ayat 60 yang memberikan legitimasi bahwa pembagian harta yang
dilakukan oleh Nabi itu benar, dapat legitimasi dari Allah, dan pembagian itu
telah ditentukan oleh Allah melalui ayat 60 ini.
Ayat ini (58-59) menyinggung tentang
segolongan munafik yang mencerca Nabi SAW dalam pembagian zakat, mereka
menyangka bahwa Nabi membagi-bagikannya pada orang sekehendaknya dari kalangan
kerabat dan orang-orang yang ia sukai, demikian mereka menganggap bahwa Nabi
tidak berlaku adil, mereka berkata “demi Allah Muhammad tidak memberikan zakat
itu kecuali kepada orang-orang yang ia sukainya, ia hanya menuruti hawa
nafsunya”, maka turunlah ayat diatas. Dan pada kelanjutannya dinjelaskan
tentang orang-orang yang berhak atas pembagian zakat. Ini membicarakan tentang
shadaqah wâjibah (zakat), maka pada ayat kelanjutannya (60) juga masih
berkenaan dengan shadaqah wâjibah (zakat).
2. Qs. At-Taubah
: 103-104
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
أَلَمْ
يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ
وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (103).
Tidakkah mereka mengetahui,
bahwasanya Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan
bahwasanya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang? (104).
Asbabun Nuzul
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan
apa yang dilakukan oleh Abu Lubabah dan segolongan orang-orang lainnya. Mereka
merupakan kaum mukminin dan mereka pun mengakui dosa-dosanya. Mereka mengikat
diri mereka di tiang-tiang masjid, hal ini mereka lakukan ketika mereka
mendengan firman Allah SWT, yang diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang
tidak berangkat berjihad, sedang mereka tidak ikut berangkat. Lalu mereka
bersumpah bahwa ikatan mereka itu tidak akan dibuka melainkan oleh Nabi SAW
sendiri. Seraya berkata, “ Ya Rasulullah, inilah harta benda kami yang
merintangi kami untuk ikut berperang. Ambillah harta itu dan
bagi-bagikanlah,serta mohonkanlah ampun untuk kami.”Kemudian setelah ayat ini
diturunkan Nabi melepaskan ikatan mereka.
Nabi kemudian mengambil sepertiga harta mereka kemudian menyedekahkannya
kemudian mendoakan mereka sebagai tanda bahwa taubat mereka telah diterima.
Konteks umum saat perang tabuk adalah
ketika adanya kabar bahwa orang-orang romawi sedang menyiapkan pasukan tentara
untuk menyerang perbatasan tanah arab di utara (tabuk), mendengar kabar ini, membuat
kondisi umat islam saat itu kebingungan, untuk menangani masalah ini, umat
islam membutuhkan dana yang cukup besar, kemudian rasulullah meminta umat islam
yang kaya untuk membantu menyumbangkan hartanya yang cukup besar untuk
mempersiapkan pasukan untuk melawan pasukan ramawi tersebut.
3. Qs.
Al-Baqarah ayat 42-43
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ
وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan
janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu
sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. (42)
Dan
dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.
(43)
PENGERTIAN ISTILAH MENGENAI ZAKAT
Menurut tinjauan bahasa, kata zakat
berasal dari kata “zaka” yang artinya berkah, tumbuh, bersih, atau baik.
Sesatu yang dikatakan zakah, maka
sesuatu itu mengandung berkah, tumbuh,
bersih, atau baik.
Menurut tinjauan Syara’, zakat itu
merupakan sebagian harta umat islam yang dibelanjakan untuk melaksanakan
perintah Allah atau untuk menegakkan kebenaran, menolong orang teraniaya dan
keperluan jihad menegakkan kalimatullah. Pada periode mekkah harta zakat tidak
ditetapkan, tapi kemudian pada periode madinah (9 H) harta zakat ditentukan
prosentasinya secara tetap.
Menurut tinjauan bahasa, kata
Shodaqah berasal dari kata shidiq, artinya benar. Oleh karena itu shodaqah
dapat diartikan sebagai harta kebenaran atau harta yang dikeluarkan untuk
menegakkan kebenaran atau harta yang dikeluarkan untuk ditempatkan sesuai tempatnya.
Dalam kedua ayat (At-Taubah 60 dan
103-104) ini menggunakan kata Shodaqah,
bukan Zakat. Menurut pendapat Ustadz Iskanadar Al Warisi istilah zakat dan
shodaqoh memiliki pengertian yang sama,
yaitu harta yagn dibelanjakan untuk memenuhi perintah Allah. Kesamaan peristiwa
tersebut lebih nampak ketika memahami istilah zakat di Mekkah sebelum turunnya
Qs. At-Taubah ayat 60 ini yang sebelumnya menunjukkan adanya kondisi dimana
umat islam pergi hijrah dari mekkah ke madinah, dan mereka berpuasa selama 30
hari yang kemudian Allah memerintahkan hambanya untuk bersyukur dengan cara
mengeluarkan sebagian harta mereka yang
dirupakan makanan pokok yang kemudian diberikan kepada saudara-saudara
mereka yang kekurangan/tidak memiliki makanan untuk berhari raya.
Dengan demikian, shodaqah itu dibagi
menjadi 2, yang pertama adalah shodaqah yang wajib dan yang kedua adalah
shodaqah yang tidak diwajibkan. Shodaqah yang wajib adalah zakat itu sendiri
dan shodaqah yang tidak diwajibkan adalah infaq.
Jika dilihat dari konteks kedua ayat
tersebut, lebih menjelaskan pada shodaqah yang sifatnya wajib, karena adanya paksaan/keharusan
bagi umat islam (perintah) untuk menzakatkan hartanya/memberikan sebagian
hartanya baik kepada 8 golongan itu,
atau yang selaiinnya yanng sudah ditentukan Allah. Sehingga kedua ayat ini
mengarah pada zakat itu sendiri.
Menurut Imam Syafi’i mengenai penjelasan 8 golongan dalam Qs.
At-Taubah ayat 60 :
1. Fuqarâ’ ; yaitu orang yang tidak mempunyai
harta dan usaha, atau mempunyai harta atau usaha yang kurang dari seperdua
kecukupannya dan tidak ada orang yang berkewajiban menafkahinya.
2. Masâkîn ; yaitu orang yang mempunyai harta
atau usaha sebanyak seperdua kecukupannya atau lebih tetapi tidak mencukupi.
Yang dimaksud dengan kecukupan yaitu cukup menurut umur biasa 62 tahun, maka
yang mencukupi dalam masa tersebut dinamakan “kaya”, tidak boleh diberi zakat,
ini dinamakan kaya dengan harta. Adapun kaya dengan usaha, seperti orang yang
mempunyai penghasilan yang tertentu tiap-tiap hari atau bulan, maka
kecukupannya dihitung setiap hari atau setiap bulan. Apabila suatu hari peng
hasilannya tidak mencukupi, hari itu dia boleh menerima zakat. Adanya rumah
yang didiami, perkakas rumah tangga, pakaian dan lain-lain yang perlu dipakai
tiap hari tidak terhitung sebagai kekayaan, berarti tidak menghalanginya dari
tergolong fakir atau miskin.
3. ‘Âmilîn ; yaitu semua orang yang bekerja
mengurus zakat sedangkan ia tidak menerima upah selain bagin zakat.
4. Muallaf
; ada empat macam yaitu; (i) Orang yang baru masuk Islam, sedang imannya
belum teguh. (ii) Orang Islam yang berpengaruh dalam kaumnya, dan kita berharap
kalau dia diberi zakat, orang lain dari kaumnya akan masuk Islam. (iii) Orang
Islamyang berpengaruh terhadap kafir kalau dia diberi zakat, kita akan
terpelihara kita akan terpelihara dari kejahatan kafir yang ada dibawah
pengaruhnya. (iv) Orang yang menolak kejahatan orang yang anti azakat.
5. Riqâb ; hamba yang telah dijanjikan oleh
tuannya boleh menebus dirinya
6. Ghârimin ; ada tiga macam yaitu; (i) Orang
yang berhutang karena mendamaikan antara
dua orang yang berselisih. (ii) Orang yang berhutang untuk kepentingan dirinya
sendiri pada keperluan yang mubah atau yang tidak mubah, tetapi ia sudah
bertaubat. (iii) Orang yang berhutang karena menjamin hutang orang lain
sedangkan dia dan yang dijaminnya itu tidak dapat membayar hutangnya.
7. Fi sabîlillah ; yaitu bala tentara yang membantu
dengan kehendak sendiri, sedangkan dia tidak mendapat gaji yang tentu, tidak
pula mendapat bagian dari harta yang disediakan untuk keperluan berperang dalam
dewan tentara. Orang ini diberi zakat meskipun ia kaya sebanyak keperluannya untuk
masuk ke medan perang.
Ulama Fiqih mentafsirkan “sabîlillah”
berpokok pada bala tentara. Tafsiran itu mengacu pada pada salah satu makna
umum diantara makna yang banyak, karena makna itu yang terpenting menurut
mereka, bukan karena hanya maknanya menurut logat Arab. Ibnu Atsir berkata,
bahwa makna “sabîlillah” adalah semua amal kebajikan yang dimaksudkan berhampir
diri kepada Allah, bukan tertentu pada peperangan, bukan pula lebih terang
maknanya pada peperangan. Tidak seorangpun dapat memberikan makna sabîlillah
hanya berartiu belanja untuk peperangan saja, pendapat yang demikian itu
hanyalah diambil dari kata-kata ulama salaf yang tidak dapat dijadikan dallil.
Dalam ilmu Ushûl Fiqh bahwa kata yang
umum itu wajib diartikan sebagaimana umumnya selama tidak ada dalil untuk
mengkhususkannya, dan dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan
maknanya. Jadi yang sabîlillah disini berarti umum meliputi semua yang diridlai
oleh Allah SWT, seperti membenguan madrasah, masjid dan lain sebagainya yang
bersifat dlariri untuk kepentingan dan kemashlahatan Islam. Menurut
Al-Ghulayain, memberikan sedekah pada jalan Allah meliputi semua usaha kebaikan
untuk kemaslahatan umum atau untuk menghindarkan segala kejahatan, kesulitan
umum, seperti persediaan perlengkapan pertahanan, membengun madrasah dan
lain-lain sebagainya yang bermanfaan dan kebaikannya berguna untuk umat.
Menurut Muhammad Rasyid Ridlo, bahwa
sesungguhnya yang dimaksud dengan sabîlillah di sini adalah beberapa
kemaslahatan kaum Muslimin umumnya yang menambah kekuatan agama Islam dan
negaranya, bukan untuk perseorangan. Yang terpenting di masa kini ialah
persediaan untuk propaganda penyiaran Islam, untuk membiayai pengiriman para
Muballigh ke negri-negri non Muslim, organisasi-organisasi yang teratur untuk
memperjuangkan Islam dan lain sebagainya.
8. Ibnu Sabîl ; yaitu orang yang mengadakan
perjalanan dari negeri zakat, atau melalui negeri zakat. Dalam perjalanan itu
ia diberi zakat sekedar ongkos untuk sampai kepada maksudnya, dan perjalanan
itu pun bukan maksiat (terlarang), tetapi dengan tujuan yang sah.
Penjelasan kebahasaan dalam surat
Al-Baqarah ayat 43
Mengenai firman Allah swt- kepada
ahlul kitab; wa aqiimush shalaata (“Dan dirikanlah shalat,”) Muqatil
mengatakan, artinya, Allah swt. memerintahkan mereka untuk mengerjakan shalat
bersama Nabi “Dan tunaikanlah zakat,” artinya, Allah memerintahkan mereka untuk
mengerluarkan zakat, yaitu dengan menyerahkannya kepada Nabi “Dan ruku’lah
bersama orang-orang yang ruku’,” artinya Allah menyuruh mereka untuk ruku’
bersama orang-orang yang ruku’ dari umat Muhammad, maksudnya Dia berfirman,
ikutlah bersama mereka dan bagian dari mereka.
Mengenai firman-Nya, “Tunaikanlah
zakat,” Mubarak bin Fudhalah meriwayatkan dari Hasan al-Bashri, katanya:
“Pembayaran zakat itu merupakan kewajiban, yang mana amal ibadah tidak akan
manfaat kecuali dengan menunaikannya dan dengan mengerjakan shalat.”
Pada surat At-Taubah ayat 60 ada kondisi dimana peran kaum munafik
masih gentar-gentarnya dalam meracuni kekuatan islam pada saat itu, kisaran
waktu awal-awal madinah, pasca perang badar. Dilihat dari usaha-usaha yang
orang-orang munafik lakukan salah
satunya dalam ayat 58 yang menjelaskan bahwa waktu itu orang-orang munafik
menghina Nabi Muhammad mengenenai pembagian harta zakat yang hendak diberikan
kepada 8 golongan itu, mereka sesungguhnya sangat-sangat ingin untuk mendapatka
harta zakat itu meskipun kondisi mereka sudah berkecukupan, hal ini mungkin
dilakukan juga karena ingin merusak/meracuni kekuatan islam di madinah pada
saat itu, dengan melakukan pencercahan akan pembagian yang dilakukan Nabi
Muhammad, ketika mereka berhasil membuat Nabi Muhammad terpengaruh akan
usaha-usaha mereka, maka islam sendiri kemungkinan besar juga akan mengalami
kerusakan karena Nabi Muhammad sendiri salah dalam melakukan pembagian harta
zakat.
Tapi kemudian Allah memberikan
penegasan bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad mengenai pembagian harta
zakat itu memang benar, melalui ayat 60 inilah, pembagian yang dilakukan Nabi
Muhammad mengenai harta zakat juga
dilegitimasi oleh Allah sendiri, sehingga orang-orang munafik tidak akan
mampu lagi untuk menghina/mencerca keputusan Nabi
Muhammad dalam menentukan pembagian harta zakat.
Memang karena kondisi umat islam saat
itu masih dalam tahap pembangunan kekuatan internal, dimana masih banyak
orang-orang fakir, miskin, budak, dll. Sehingga harta zakat dibagikan kepada
mereka guna memperkuat kondisi internal islam pada waktu itu. Membagikan kepada
muallaf untuk mendapatkan kesan positif terhadap agama islam, untuk membuat
mereka semakin mencintai islam, untuk fi
sabilillah, menurut Ustadz IAW fi
sabilillah diartikan sebagai jalan Allah yang
memiliki prinsip semua jalan yang
memiliki potensi tegaknya kalimat Allah, harus sesuai dengan sunnatullah bisa
berhubungan dengan pendidikan, pembangunan ekonomi, dan industri, teknologi,
politik, dll. Begitupun golongan-golongan lain yang memiliki tujuan/orientasi
yang berbeda-beda dalam pembagian harta zakat tersebut.
Pada surat At-Taubah ayat 103-104 ada kondisi dimana waktu orang-orang
romawi sudah mempersiapkan diri untuk menyerang perbatasan arab di wilayah
utara (di daerah tabuk), dengan kondisi
yang mendesak ini, maka umat islam juga harus mempersiapkan diri untuk
melawan pasukan romawi tersebut, sedangkan untuk mempersiapkan pasukan perang ini maka butuh
danah yang cukup besar. Sehingga pada waktu itu orang-orang yang kaya dituntut
untuk memberikan bantuan dana untuk mempersiapkan pasukan demi melawan pasukan
romawi. Namun ada beberapa orang kaya yang enggan untuk memberikan hartanya
demi mempersiapkan perlawanan ini, lebih memilih untuk menggunakan hartanya
secara pribadi dan tidak ikut berjihad
di medan pertempuran. Karena itulah kemudian turunlah ayat ini untuk
memerintahkan Nabi Muhammad untuk
mengambil harta mereka, untuk membersihkan diri
mereka. Kemudian ketika ayat ini telah turun, mereka mulai menyesal
karena perilaku mereka sebelumnya, sehingga kemudian bersedia untuk memberikan
harta mereka sesuai dalam perintah surat
At-Taubah ayat 103 ini.
Jika dilihat dari kedua ayat ini mengenai
alokasi pembagian harta (zakat) masing-masing memiliki perbedaan, yakni pada ayat 60 lebih pada membagikan harta
kepada golongan-golongan yeng membutuhkan untuk memperkuat kondisi internal
islam sendiri. Sehingga pembagian harta zakat tidak diharuskan hanya pada 8
golongan itu saja, melainkan melihat dari konteks/kondisi yang dialami oleh
umat islam waktu itu, seperti contoh ayat 103 yang dalam kondisi peperangan,
maka orientasi zakat waktu itu memang ditujukan untuk membantu dalam hal
peperangan/perlawanan mengahadapi pasukan romawi.
Pada surat Al-Baqarah ayat 43 cenderung menunjukkan dari sisi perintah dalam melaksanakan zakat, yakni
menjadi sebuah keharusan atau kewajiban
bagi seorang muslim untuk melaksanakan zakat tersebut.
Sehingaa dari ketiga ayat/ ketiga
permasalahan yang berbeda ini, maka dapat memunculkan pemaknaan ayat bahwa
zakat sendiri merupakan sebuah keharusan/kewajiban bagi umat islam dan
pembagian harta zakat itu dilihat sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat
itu, tidak harus selalu 8 golongan, tidak harus selalu dalam mendukung peperangan, bisa saja masyarakat dalam kondisi kurangnya
pengetahuan sehingga harta zakat dapat dialokasikan untuk pendidikan,
misal masyarakat dalam kondisi banyak
wabah penyakit yang menyerang, maka harta zakat bisa dialokasikan dalam bidang
kesehatan, bergitu seterusnya.
PENAFSIRAN AYAT-AYAT MENGGUNAKAN PENDEKATAN TEORI KEBIJAKAN
FISKAL
Menurut penafsiran sesuai konteks pada surat Al-Baqarah ayat 43, At-Taubah
ayat 60 dan 103-104 yang menunjukkan bahwa zakat itu diwajibkan bagi umat
muslim yang memiliki harta yang lebih dan dalam pembagiannya tidak harus
berpatok pada 8 golongan terseabut,
melainkan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat pada saat itu.
Ketika menggunakan teori ekonomi
kususnya dalam kebijakan fiskal yang mencakup masalah-masalah yang berkaitan
dengan pengelolaan dan pengendalian secara makro dilihat dari kacamata
perancang ekonomi nasional.
Dalam zakat yang merupakan sumber
pemasukan dana bagi umat islam yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang kekurangan, memperkecil kesenjangan ekonomi antara yang kaya
dan yang miskin, menjaga daya beli masyarakat agar tetap stabil, membantu
mengatasi permasalan-permasalahan yang
ada sesuai konteks masyarakat saat itu.
Penerapan zakat pada zaman rasul
dapat digambarkan seperti ini : harta zakat yang telah dikumpulkan oleh para
Amiil zakat dengan cara mengambil harta zakat dari para kaum muslimin, dan
kemudian harta tersebut ditaruh di baitul mal. Pada baitul mal ini, diaturlah pengeluaran
yang akan dilakukan, harta tersebut dibagikan kemana saja, ke siapa saja, di
sini ada pengaturan/perencanaan pengeluaran tersendiri. Begitu juga dengan
teori kebijakan fiskal ketika dana yang masuk dalam APBN, dan dana tersebut
akan digunakan untuk pembelanjaan, dalam pembelannjaan sendiri pun juga ada
perencanaan yang ditujukan untuk pembangunan masyarakat, kesejahteraan
masyarakat, pembangunan infrastruktur, dll.
Dalam kebijakan fiskal yang saya
ketahui selama ini, pemasukan dana/penerimaan berasal dari pajak dan non pajak.
Dalam penerimaan pajak, dalam penerimaan pajak sendiri pun dibagi menjadi 2
yakni :
1. Penerimaan pajak
dalam negeri dan
2. Penerimaan pajak
international
Penerimaan pajak dalam negeri seperti
pajak penghasilan, PPN, cukai, dll. Sedangkan pajak international seperti bea
impor/ekspor, dll.
Sedangkan penerimaan yang berasal
dari non pajak yang saya ketahui ada 4, yakni :
1. Penerimaan SDA
(hasil ekspor)
2. Laba dari BUMN
3. PNBP lain
seperti bunga, hiba, denda, dll.
4. Pendapatan BLU
seperti jasa, hibah, dll.
Sedangkan dalam zakat, yang menjadi
pemasukan adalah dari harta pribadi para umat islam yang memiliki harta lebih
dari cukup, dan diwajibkan sama halnya dengan pajak juga diwajibkan karena
telah menggunakan fasilitas negara, tapi diwajibkannya zakat ini karena memnag
sudah menjadi ketentuan Allah dalam Al-Qur’an yang dikhususkan untuk umat islam. Ketika harta zakat dihubungkan
dengan penerimaan/pemasukan dalam kebijakan fiskal, seperti yang dilakukan oleh
rasul di zamannya yang menjadikan zakat sebagai pemasukan dari baitul mal. Maka
konsep penerapan zakat ini juga bisa dikatakan/bisa dimasukkan dalam teori
kebijakan fiskal, karena konsep penerimaan/pemasukan, perencanaan
pengeluaran/pembagian harta/pembelanjaan juga memiliki kesamaan.
Ketika pembelanjaan APBN digunakan
untuk pembangunan negara, subsdi, dll. Maka pembelanjaan harta zakat juga memiliki
tujuan untuk membangun masyarakat, menyelesaikan permasalahan dana yang ada di
masyarakat, menyejahterakan masyarakat, dll.
Ketika pemasukan dalam APBN mengalami
pengurangan, sedangkan hal hal yang harus dibelanjakan banyak, maka dibutuhkan
tambahan pemasukan. Begitu juga dengan zakat, ketika pemasukan harta zakat
sedikit sedangkan kebutuhan pembelanjaannya banyak, maka butuh yang namanya
tambahan pemasukan.
Begitu juga ketika pembelanjaan dari
APBN digembor-gemborkan dan pajak dikurangi, maka yang akan terjadi adalah
inflai, karena jumlah uang beredar semakin meningkat. Sama halnya dengan zakat,
ketika dalam tahapan pembagian harta yang begitu banyak, sehingga jumlah uang
yang beredar di masyarakat juga akan
semakin bertambah yang ini menimbulkan adanya inflasi dalam suatu masyarakat
tertentu.
Sebaliknya jika pembelanjaan APBN
benar-benar dikurangi, sehingga jumlah uang yang beredar juga berkurang,
sedangkan jumlah penerimaan pajak ditingkatkan sehingga jumlah uang yang beredar semakin berkurang, maka akan
menimbulkan deflasi. Sama halnya dengan Zakat, ketika pembagian hartanya
dikurangi/pembelanjaannya dikurangi, sedangkan penerimaan hartanya ditambah,
maka akan menimbulkan harta/uang yang beredar di masyarakat juga akan semakin
berkurang. Hal ini juga dapat membuat terjadinya deflasi.
Secara umum tujuan yang ingin dicapai
oleh kebijakan fiskal adalah kestabilan ekonomi. fungsi kebijakan fiskal yang
saya temukan mencakup tiga hal :
1. Fungsi
Alokasi yang
bertujuan untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi yang ada dalam masyarakat
sedemikian rupa, sehingga kebutuhan masyarakat seperti keamanan, pendidikan,
prasarana jalan, tempat ibadah dan sebagainya dapat terpenuhi.
2. Fungsi Distribusi yang bertujuan untuk
terselenggaranya pembagian pendapatan nasional yang adil.
3. Fungsi Stabilisasi yang antara lain bertujuan untuk
terpeliharanya kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga yang relatif stabil
dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai.
Merujuk dari fungsi kebijakan fiskal
tersebut, bahwa zakat dapat pula dijadikan instrumen dalam kebijakan fiskal
karena memenuhi seluruh prasyarat untuk menjadi instrumen fiskal. Ketiga fungsi
zakat yang dimainkan oleh zakat tersebut adalah seperti berikut :
1. Pertama, sebagai
alat redistribusi pendapatan dan kekayaan. Sebagai sebuah instrumen, tentu saja
zakat membutuhkan infrastruktur yang memadai, baik dalam regulasi kebijakan hingga
bentuk lembaga dan teknis operasional yang bersifat rinci. Jika fungsi zakat sebagai
instrumen bagi redistribusi pendapatan dan kekayaan berjalan dengan baik, maka
persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial dapat direduksi.
2. Kedua, sebagai
stabilisator perekonomian. Pengelolaan zakat yang baik dapat memberikan dampak
terhadap stabilitas perekonomian. Kondisi perekonomian terkadang berada pada
situasi booming maupun pada situasi depresi. Kondisi yang fluktuatif ini tentu
membutuhkan adanya suatu instrumen yang menjadi stabilisator,
3. Ketiga, sebagai
instrumen pembangunan dan pemberberdayaan masyarakat dhuafa (fungsi alokasi).
Zakat memiliki peran yang sangat strategis didalam pembangunan masyarakat. Bagi
negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pembangunan ekonomi yang terkait
dengan sektor riil mendapatkan prioritas yang utama. Hal ini dimaksudkan agar
angka pengangguran dan kemiskinan dapat dikurangi, lapangan serta kesempatan
kerja dapat diperluas.
Pelaksanaan zakat bila dilakukan
secara sistematis dan terorganisir akan memberikan efek multiplier yang yang
tidak sedikit terhadap peningkatan pendapatan. Efek multiplier dari zakat
secara ekonomi dapat dijelaskan dengan contoh berikut :
Jika diasumsikan bantuan zakat
diberikan dalam bentuk konsumtif. Bantuan konsumtif yang diberikan kepada mustahik
(penerima zakat) akan meningkatkan daya beli mustahik tersebut atas suatu
barang yang menjadi kebutuhannya. Peningkatan daya beli atas suatu barang ini akan
berimbas pada peningkatan produksi suatu perusahaan, imbas dari peningkatan produksi
adalah peningkatan kapasitas produksi yang hal ini berarti perusahaan akan menyerap
tenaga kerja lebih banyak. Sementara itu, disisi lain peningkatan produksi akan
meningkatkan pajak yang dibayarkan kepada negara. Bila penerimaan negara
bertambah, maka negara akan mampu menyediakan sarana dan prasarana untuk
pembangunan serta mampu menyediakan fasilitas publik bagi masyarakat. Dari contoh
tersebut, terlihat bahwa pembayaran zakat mampu menghasilkan efek berlipat
ganda (multiplier effect).
Dalam perekonomian, yang pada
akhirnya secara tidak langsung akan berimbas pula apabila zakat diberikan dalam
bentuk bantuan produktif seperti modal kerja atau dana bergulir, maka sudah
barang tentu efek multiplier yang didapat akan lebih besar lagi dalam
suatu perekonomian.
KEDUDUKAN
ZAKAT DALAM KEBIJAKAN FISKAL
Kedudukan
Zakat dalam kebijakan fiskal dalam konteks indonesia saat ini
1.
Hakikat Zakat
Zakat wajib dikeluarkan apabila telah
memenuhi syarat antara lain harta yang dimiliki mencapai nishab dan haulnya
selama setahun, besarnya ditentukan dan syarat lainnya telah terpenuhi. Apabila
persyaratan telah terpenuhi maka jika tidak ditunaikan maka pemilik tersebut
akan berdosa disisi Allah sedangkan, infaq boleh dikeluarkan secara suka rela
baik harta tersebut belum atau telah mencapai syarat-syarat unuk berzakat.
Dengan demikian, orang yang berzakat itu sebenarnya belum memberikan hartanya
melainkan hanya menunaikan kewajiban atas hartanya sedangkan, yang
dikategorikan memberikan hartanya adalah orang yang berinfaq.
Pajak yang menjadi pemasukan dari
APBN adalah dilakukan karena masyarakat menggunakan fasilitas negara, seperti
pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak ekspor, dll. Pemungutan pajak
itu dilakukan karena kewajiban bagi suatu warga negara untuk memberikan dana
pajak bagi negaranya karena sudah menepati negara, sudah memanfaatkan fasilitas
yang ada di negara tersebut. Pajak ini diberlakukan wajib bagi seluruh warga
negara indonesia.
Sedangkan zakat sendiri adalah
kewajiban bagi setiap muslim dengan ukuran-ukuran tertentu yang sudah ditentukan baik ketika melakukan
zakat maal atau zakat fitrah, dalam melakukan pembayaran zakat yang sudah
diterapkan oleh rasulullah pada zamannya, hal ini bisa dijadikan patokan dalam
pembayaran harta zakat dan mungkin bisa dijadikan standard minimal bagi pembayar
zakat, karena ketika orang yang hendak melakukan zakat fitrah adalah orang yang
kaya raya, maka dengan hanya memberikan
bantuan pokok sesuai pada zaman Nabi, maka tidak akan sesuai dengan
kondisinya yang kaya, seharusnya bisa
melebihi dari standard yang diterapkan Nabi pada saat itu.
Penerimaan harta zakat tidak hanya
dilakukan saat idhul fitri saja, melainkan dengan adanya zakat maal, maka penerimaan
harta zakat bisa fleksibel, tidak harus pada waktu yang sama. Dengan melakukan
perhitungan dengan harta yang dimiliki mengenai harta yang akan dizakat maal
kan, ada nishab tersendiri yang harus terpenuhi ketika hendak melakukan zakat.
Total harta yang akan di zakatkan inilah yang merupakan bentuk penerimaan dalam
kebijakan fiskal.
Sehingga sistem penerimaan fiskal
melalui harta zakat ini dapat diambil melalui zakat fitrah dan zakat mal yang
diberikan kepada panitia/pihak yang menjadi penerima zakat fitrah/mal
(dilakukan secara terorganisis, tidak langsung dibagikan ke para mustahiq).
Zakat bukanlah bentuk donasi biasa
atau bentuk kedermawanan sebagaimana infaq. Zakat hukumnya wajib (imperatif)
sementara donasi hukumnya mandub (sunnah). Pemungutan zakat dapat dipaksakan
berdasarkan firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 103. Lembaga yang mempunyai
kekuasaan yang sah untuk melakukan pemaksaan seperti itu dalam sistem demokrasi
seperti di indonesia ini adalah negara, melalui perangkat pemerintahan, seperti
halnya pengumpulan pajak.
Dilihat dari potensi zakat yang dapat
dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber, potensi zakat
di Indonesia mencapai hampir 20 triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat
Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005 mengungkapkan,
jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp 19,3
triliun. Di antara potensi tersebut, Rp 5,1 triliun berbentuk barang dan Rp
14,2 triliun berbentuk uang. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih
berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1
triliun. diketahui bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal
diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal
terbesar (70 persen) adalah masjid-masjid. Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah
hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal.
Pada kenyataannya, dana zakat yang
berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang sebenarnya.
Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga
pengumpul zakat baru mencapai beberapa puluh milyar. Itu pun bercampur dengan
infak, hibah, dan wakaf. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan
disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen yang
berwenang.
2.
Peran Zakat
Ketika sudah ada dana dari pajak yang
dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pembayaran utang negara, dll.
Maka dana zakat dapat lebih digunakan dalam hal kesejahteraan umat misalnya
untuk pembangunan sarana dan prasarana pertanian sebagai tumpuan kesejahteraan
ekonomi rakyat, pembangunan sektor industri yang secara langsung berorientasi
pada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak, penyelenggaraan sentra-sentra
pendidikan keterampilan dan kejuruan untuk mengatasi pengangguran, pembangunan
pemukiman rakyat tuna wisma atau gelandangan, jaminan hidup orang-orang yang
cacat (defable), jompo, yatim piatu, dan orang-orang yang tidak mempunyai
pekerjaan. Di samping itu, dana zakat juga dapat digunakan untuk pengadaan
sarana dan prasarana pendidikan dasar sampai tinggi untuk setiap warga yang
memerlukan, pengadaan sarana dan prasarana kesehatan bagi rakyat, dan pengadaan
sarana dan prasarana lain yang erat hubungannya dengan usaha menyejahterakan
rakyat yang berada pada atau di bawah garis kemiskinan.
Pada instrumen kebijakan fiskal,
mekanisme zakat mungkin akan memastikan aktivitas ekonomi dapat berjalan pada
tingkat yang minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer. Masalah
yang utama mungkin bisa digunakan untuk membantu masyarakat yang masih
kekurangan dalam hal kebutuhan primer.
Karena melihat potensi zakat yang
begitu besar jika diliihat dari dana yang dihasilkan yakni sekitar 20 triliun
atau setara 1% dari APBN, dengan dana yang begitu besar, dan melihat
konteks/kondisi mayasrakat di indonesia dengan tingkat rasio gini yang lumayan
tinggi yang menunjukkan tingkat ketimpangan ekonomi yang lumayan tinggi pula, sehingga
karena ada permasalahan yang seperti ini, maka peran zakatnya hampir sama
dengan apa yang sudah diterapkan dalam oleh rasulullah dulu, cenderung dalam
membelanjakannya untuk kesejahteraan masyarakat.
Peran dana zakat sebenarnya tidak
hanya itu saja, tapi dengan melihat kondisi masyarakat indonesia sendiri,
ketika hal yang paling dibutuhkan adalah meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya yang selama ini kurang sejahtera (dilihat dari ketimpagngan
ekonominya), maka dana zakat dapat dialokaskan untuk mengatasi masalah tersebut, bisa dengan
memberikan bantun konsumtif atau produktif tergantung planning dari negara
indonesianya sendiri. Misal ada permasalahan dalam bidang pendidikan,
kesehatan, dll. Maka dana zakat bisa dialokasikan untuk membantu mengatasi
permasalahan tersebut.
3.
Fungsi Zakat
Guna/manfaat atau efek/dampak yang
diberikan oleh zakat bagi pencapaian tujuan fiskal
Tujuan-tujuan dari terjadinya dan berlangsungnya kebijakan fiskal
antaralain sebagai berikut..
1. Mencapai
stabilitas perekonomian
2. Memacu dan
mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi
3. Memperluas dan
menciptakan lapangan kerja
4. Menciptakan
terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat
5. Mewujudkan
pendistribusian dan pemerataan pendapatan
6. Mencegah
pengangguran dan menstabilkan harga
Ketika dana zakat dapat terkumpul
dengan maksimal, maka anggaran dana dari pemerintah juga akan bertambah dengan
maksiml pula, yang nantinya akan berpengaruh juga pada pembelanjaan fiskal
sendiri dan digunakan untuk meningkatkan pembangunan di negara indonesia, maka
manfaatnya juga akan sangat besar, semakin banyak infrastruktur yang dibangun
di indonesia, maka semakin mudah jalur akses bagi masyarakat untuk mendapatkan
sesuatu yang dibutuhkan.
Ketika dana zakat dijadikan instrumen
fiskal, dan dengan dibenturkan dari beberapa tujuan fiskal sendiri, dengan
membelanjakan/menyalurkan dana zakat kepada kelompok yang benar-benar
membutuhkan, dengan model pemberian bisa dengan diberikan untuk konsumsi maupun
produksi, yang nantinya akan membuat daya beli masyarakat naik, peningkatan
daya beli atas suatu barang ini akan berimbas pada peningkatan produksi suatu
perusahaan, imbas dari peningkatan produksi adalah peningkatan kapasitas
produksi yang hal ini berarti perusahaan akan menyerap tenaga kerja lebih
banyak. Sementara itu, disisi lain peningkatan produksi akan meningkatkan
pajak yang dibayarkan kepada negara. Bila penerimaan negara bertambah, maka
negara akan mampu menyediakan sarana dan prasarana untuk pembangunan serta
mampu menyediakan fasilitas publik bagi masyarakat. Dari contoh tersebut,
terlihat bahwa pembayaran zakat dengan tepat akan mampu menghasilkan efek
berlipat ganda. Sehingga dari efek ini juga membuat pertumbuhan ekonomi
semakin meningkat.
Dari sinilah fungsi zakat dapat
dilihat secara singkat, intinya zakat sendiri dapat/mampu mendorong/mendukung
tercapainya tujuan fiskal.
Konklusi secara umum
Hakikat zakat sendiri dalam konsep penerimaan fiskal berbeda
dengan pajak dan infaq. Zakat sendiri
merupakan suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan sebagai seorang muslim, ada kadar-kadar tertentu untuk melakukan
zakat, dalam melakukan penerimaan harta zakat bisa dilakukan di
lembaga-lemabaga tertentu yang kemudian dipusatkan ke pemerintah dan dan nantinya bisa dikelola
sesuai rencana/planning. Pada peranan
zakat sendiri sebenarnya bisa membantu dalam berbagai sektor, terutama
untuk menyejahterakan rakyatnya, dalam
perannya ini sebenarnya tergantung dari konteks/kondisi yang dialami masyarakat
indonesia pada saat ini, sehingga perannya bisa menyesuaikan dari segi/sektor
mana yang butuh untuk dibantu/diselesaikan masalahnya. Pada fungsi zakat
sendiri terhadap pencapaian tujuan fiskal, secara umum zakat dapat
mendukung/membantu/mendorong tercapainya tujuan fiskal.